Jumat, 18 November 2016

Beri Aku Serupiah Aja

Siang ini matahari terasa membakarku, bulir-bulir keringat terus saja meluncur di permukaan kulitku. Ah, aku mengeluhkan rahmat Tuhan lagi. Kupikir lebih baik mencari cara untuk mendinginkan tubuhku agar mulut dan hatiku berhenti mengeluh.
Kalau cuaca panas seperti ini memang cocok minum atau makan sesuatu yang dingin. Tapi, segala macam es seperti es jeruk, es kelapa muda, es campur dan minuman lain yang bertemakan es sama sekali tidak menarik minatku saat ini. Kulihat ponselku sambil termenung, terlintaslah ide untuk menghubungi teman sekelasku Novi. Mungkin dia mempunyai saran yang bagus. Kuharap.
“Nov, lg sibuk? Jln yuk” tak menunggu lama, sebuah balasan kuterima.
“Mau jln ke mna panas2 spt ini?”
“Terserah, mnrut kmu ccokny ke mna?” kubalas pertanyaannya dengan pertanyaan.
“ke Ice Cream 98 aj, gmna?” Balasan seperti ini yang ditunggu sedari tadi.
“Oke, aku jmpt skrang ya!”
Waktu dua puluh menit sudah cukup untuk menjemput Novi dan menuju lokasi yang kami tuju. Setelah mencari tempat duduk, kami pun sibuk menuliskan pesanan kami pada secarik kertas kecil lalu menyerahkannya pada pelayan. Kami berbincang-bincang sambil menunggu pesanan kami diantarkan. Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya yang pakaiannya terlihat kotor sambil menengadahkan tangan menghampiri meja kami. Aku diam sejenak, lalu menunduk. Sekilas kulihat Novi melakukan hal yang sama. Mungkin karena tidak ada tanda-tanda kami akan memberikan serupiah pun padanya, wanita itu pun memilih menjauh dan menghampiri meja yang dikelilingi beberapa anak laki-laki. Anak-anak tersebut menyerahkan lembaran uang rupiah, tak terlihat jelas nominalnya. Sesaat aku merasa hatiku ditusuk, aku merasa apa yang baru saja kulakukan adalah kesalahan.
Pesanan kami telah tersedia di atas meja kami. Namun, tak ada satu pun yang bersuara maupun bergerak barang memakan es krim yang telah kami pesan. Jengah dengan keheningan, aku pun membuka suara.
“Nov, menurutmu haruskah kita memberi wanita tadi uang? Ya, memang kita diajarkan untuk berbagi. Apalagi aku pernah mendengar kalau di dalam rezeki yang kita dapat tersimpan rezeki orang lain. Tapi, di zaman sekarang banyak orang yang salah memanfaatkan kedermawanan orang lain. Seperti banyaknya pengemis-pengemis yang jiwa dan raganya masih sehat, masih bisa berusaha mencari sedikit rezeki akan tetapi mereka lebih memilih mengemis. Karena hanya dengan bermodalkan pakaian compang camping, wajah memelas dan menengadahkan tangan saja mereka sudah bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah. Itu membuat aku takut kalau aku memberi mereka sedikit saja rasa syukurku, yang ada malah membuat mereka malas berusaha dan menyuburkan jumlah pengemis.” Ujarku jujur, aku menatap matanya lalu ia membalas tatapanku dengan serius.
“Ya, aku setuju. Maka dari itu, aku pilih-pilih dalam memberikan uang kepada pengemis. Jika ia terlihat masih sehat seperti wanita tadi, aku tidak akan memberinya. Kecuali pengemis itu sudah berusia lanjut atau memiliki ketidaksempurnaan fisik. Tapi, kebanyakan dari mereka masih tetap berusaha menghasilkan uang dari keringat mereka sendiri. Ah, sudahlah. Itu es krim milikmu sudah mencair.” Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ternyata kami memiliki pemikiran yang sama.
Setelah itu, kami menikmati es krim sambil berbincang-bincang tentang banyak hal, tidak sedikitpun menyinggung tentang hal yang sempat membuat kami diam merenung. Meskipun begitu, hal itu terus saja mengusik pikiran dan hatiku. Aku berniat akan meminta pendapat guru agama di sekolah dan teman-teman yang lain nantinya.
Aku duduk termenung di kursi panjang yang terletak di depan kelas kami sambil menikmati udara yang masih segar. Tak ada satu pun batang hidung teman-teman sekelasku yang terlihat karena memang aku terlalu pagi berangkat ke sekolah hari ini. Biasanya aku akan merasa bosan karena tidak ada yang bisa diajak berbicara. Tapi, kejadian kemarin masih saja mengusik memoriku. Merayuku untuk segera menemukan pendapat yang menurutku cukup masuk akal.
Akhirnya kedua teman sekelasku datang setelah beberapa waktu aku termenung sendirian. Tanpa menunggu mereka melanjutkan langkah memasuki kelas, aku memanggil mereka untuk duduk di sampingku dan aku pun mulai menanyakan hal yang cukup mengusikku dari kemarin.
“Aku setuju denganmu. Aku juga pernah mendengar ceramah dari seorang Ustadz, beliau mengatakan bahwa kita dilarang memberikan uang kepada pengemis yang terlihat sehat jasmaninya karena akan menyebabkan pengemis tersebut semakin malas untuk bekerja.” Lagi, aku mendengar kalimat persetujuan dari temanku, Ahmad.
“Aku juga. Ya, kalau dipikir-pikir sekarang itu banyak sekali orang yang memanfaatkan hal tersebut dengan seenaknya. Bahkan ada yang mengemis padahal ia memiliki harta yang cukup untuk digunakan modal usaha.” Ujar Nurul
“Kalau menurutku, lebih baik beri saja walau serupiah. Toh, kalaupun kita memberi tidak ada kerugian pada diri kita, selama kita ikhlas. Daripada tidak memberi tapi membuat pengemis tersebut dendam atau marah kepada kita, yang rugi kita sendiri.” Ujar Nurul menambahkan.
“Semua tergantung individunya juga. Jika memang ada rezeki, beri saja. Lalu berdoa semoga uang tersebut menjadi berkah kepada si penerima dan tidak disalahartikan. Ya sudah, aku mau masuk ke kelas dulu.” Ujar Ahmad menutup pembicaraan di antara kami bertiga.
Bel pertanda jam pelajaran di sekolah telah usai berbunyi. Semua murid, termasuk aku berjalan ke luar pagar sekolah menuju rumah masing-masing. Hari ini, aku dan Novi memilih jalan memutar karena ingin mampir di pasar untuk membeli keperluan tugas sekolah. Aku berjalan pelan di samping Novi, masih memikirkan hal yang sama. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memilih mengikuti saran dari Nurul dan Ahmad. Meski masih mengambang, kupikir alasan mereka cukup rasional.
Sesampai di pasar kami langsung mencari bahan untuk tugas biologi besok. Tiba-tiba pandanganku teralihkan pada seorang bapak yang duduk sambil menunduk di sudut pasar, pakaiannya kotor, tangannya mengangkat sebuah mangkuk kecil pada setiap orang yang lewat di depannya.
“Nov, aku ke sana sebentar, ya” Ucapku pada Novi yang sedang bebicara pada pedagang buah.
“Iya, jangan lama-lama.” Sahutnya
Kemudian aku mengambil selembar uang sepuluh ribu, lalu pelan-pelan mendekati bapak pengemis itu. Setelah jarak kami cukup tertelan oleh langkah-langkahku, terdengar suara pengemis itu.
“Beri aku serupiah saja” ia berucap entah kepada siapa karena kepalanya terus saja menunduk. Lalu aku memasukkan uang sepuluh ribu yang sudah kusiapkan tadi ke dalam mangkuk kecilnya.
“Terima kasih” Ucapnya lalu menangkat kepalanya ketika mengetahui nominal yang mungkin dia rasa cukup banyak itu. Tapi, akulah yang paling terkejut ketika mengenali wajah lelaki paruh baya ini. Terlihat ia juga sangat terkejut melihatku.
“A.. ayah?” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku, sedang ia hanya dapat membisu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar