Rian yang bingung akan tingkah Dion akhirnya bertanya, “Kenapa sih? Lo lupa ngerjain PR? Semalem lo nggak belajar karena hari ini ada ulangan? Atau.. kaki lo gue injek? Tapi mana mungkin, gue duduk di meja sementara lo duduk di kursi.”
Ray dan Efendi yang mengetahui kenapa Dion menjadi salah tingkah, membulatkan mata. Sampai mata mereka hampir copot dari tempatnya. Begitupula dengan murid yang ada di kantin.
“Anu, itu… ishh apaan sih itu lohh…” Ucap Dion latah yang masih berusaha menutupi wajah dengan telapak tangannya.
Rian mengaduh, “Anu itu apa? ngomong yang jelas. Jangan bisu mendadak.” Rian mengedarkan mata ke penjuru kantin, “Kalian juga kenapa diem? Dihipnotis, ya?”
Suasana hening, mencekam. Keadaan horror menyelimuti keadaan kantin pagi ini. Ray dan Efendi hanya bisa menundukkan kepala dan diam.
“Ini juga berdua. Ngapain ngelihatin bawah sih. Emang ada apaan di bawah? Semut ngangkat strawberry? Aneh deh kalian.” Ucap Dion dengan sorot mata pada Ray dan Efendi. Percuma, mereka tidak angkat suara sedikitpun. Berdehem pun tidak.
“Itu lo, Yan.” Ucap Dion berusaha, sambil mengangkat dagu menunjuk ke belakang Rian, “Ada semangka besar. Aduhh…”
Semangka besar?
“Ada durian runtuh. Lahhh…”
Durian runtuh?
“Ngomong yang bener!” Tegas Rian pada Dion.
“Dasar nggak peka!” batin Dion.
“Akan terjadi gempa bumi.”
Nah, gempa bumi?
“Maksudnya?” Tanya Rian kebingungan.
“Akan ada gempa bumi. Karena di belakang lo ada Nita.” Utas Ray. Akhirnya.
Mendengar kata Nita, Rian menegang. Alhasil, sekujur tubuhnya gemetaran. Sebutir air menetes di ujung pelipisnya. Keringat menggodanya. Mau tak mau, Rian memutar tubuhnya ke belakang. Tampaklah Nita dengan wajah penuh amarah. Dengan nyali Rian menyapanya.
“Eh, sayang. Ngapain? Mau pesen Bakso, yak? Sini biar aku yang pesenin.” Tawar Rian. Alih-alih dia bisa kabur.
“Ya! Sama bininya baru kicep.” Ucap salah satu murid yang berada di kantin.
Rian menoleh dan mencari asal muasal sumber suara. Itu dia. Cowok tulen dengan rambut acak-acakkan. Randy. Musuh bebuyutan Rian. Rian menatap tajam mata Randy. Seakan mata itu bicara ‘Awas aja lo. Gue pites!’
“Kita putus!” Ucap Nita.
Rian kembali menoleh pada Nita.
“Loh, Nit. Aku nggak mau kita putus. Kita kan belum punya momongan. Masak kamu tega ninggalin ak-”
Nita pergi sebelum Rian mengakhiri ucapannya. “Nita. Nit! Dengerin aku dulu. Nit.. Woyy..”
Hasilnya? Percuma. Mau manggil sampai kapanpun nggak akan peduli. Karena hatinya terlanjur sakit.
“Aarrgghhh…” Geram Rian, “Kalian juga ngapain nggak bilang kalo ada Nita disini?” Tanyanya pada ketiga temannya.
“Gue udah berusaha. Lo aja yang nggak peka.” jawab Dion.
Efendi menyahut, “Sabar, Yan.”
“Bukan itu masalahnya. Susah nyari cewek kayak Nita, yang semlohai kayak gitu.” Kesal Rian seraya mengusap wajah dengan kasar.
Perkataan Rian mengundang gelak tawa dari murid-murid yang menyaksikan adegan dramatis tadi. Begitu pula dengan ketiga temannya. Mendengar tawa semakin pecah, Rian menggeram. Emosinya berkumpul menjadi satu di ujung kepala. Terlihat dua ujung tanduk yang keluar dari kepalanya. Semacam badak bercula yang siap menerkam mangsanya.
“Bisa diem nggak kalian?! Mau gue putus tuh kepala? Ha?!” Bentak Rian.
Bukannya diem, para penjajah makanan pada lari limbung-limbung ke luar kantin. Kecuali kaum Adam. Alhasil, keadaan kantin kacau. Banyak piring dan gelas jatuh dari meja. Kursi yang berserakkan. Seperti habis tergucang gempa bumi. Walaupun dilanda kegaduhan, kaum Adam tadi dengan tenang duduk sambil menyantap makanan yang dipesannya.
Merasa dirinya ada yang mengintai, Rian membolak-balikan badannya dari tempat duduk. Dan berhasil menemukan. Seorang cowok berdiri menatap tajam Rian sambil menggigit kuku ibu jarinya. Segera Rian menghampirinya. Belum sampai berdiri dari tempat duduknya, cowok itu lari terbirit-birit.
“Cyinnnn, tungguin gue doongggsss. Atuuttt!” Jerit cowok tadi.
“Lah, Banci?” Batin Rian.
Rian menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, “Disuruh diem ngapain lari.” Rian mengedarkan pandangan matanya ke penjuru kantin. “Memang bener ya cowok mikir pake logika, kalo pake otak lama nyantol.”
Ray, Dion dan Efendi hanya bisa memandang Rian dengan gerak-gerik bola matanya. Bisa gila lama-lama berteman dengan Rian.
“Parah! Otak lo kayaknya gesrek habis diputusin Nita tadi.” Ucap Ray memecahkan keheningan. “Pake segala ngancem mutusin kepala. Lihat noh, kantin malah jadi tempat pengungsian. Berantakan!”
“Eh, Ibu kantin melototin kita! Ganti pelototin yuk?” Belum sempat Efendi melototin ibu kantin, Dion menonyor lengannya dengan keras. “Apaan si pegang-pegang?”
Ray menghela napas kasar, “Pokoknya kalo kuping Bu Mega denger berita ini, gue nggak ikut-ikut. Bosen dihukum.”
Pasti tahu kan Bu Mega itu siapa sebenernya? Yang suka ngasih hukuman kalo ada siswa melanggar aturan? Yang nulis nama kita di buku pelanggaran plus point? Tahu, kan?
“Gue juga.” Sahut Dion dan Efendi bebarengan.
“Lo harus tanggung jawab atas kerusuhan meja dan kursi yang jatuh tak berdaya itu. Beresin!” Lanjut Ray.
“Ray, Dion, Efendi, Rian!! Apa yang sudah kalian lakukan?!!” Bentak seseorang yang berdiri di ambang pintu kantin.
Mendengar namanya berada di sebuah kalimat, mereka menoleh ke sumber suara. Seketika tubuh mereka menegang. Dengan cepat mereka mengalihkan pandangan dan segera berkumpul menjadi satu. Ray, Dion, Efendi dan Rian melihat mata satu sama lain secara bergantian.
“BU MEGA!!!” Ucap empat serangkai tersebut.
Ya, Bu Mega. Nama yang misterius. Nama yang tersimpan rapi di dalam folder otak mereka. Nama yang selalu memanggil mereka jika melanggar sebuah aturan.
“Mampus! Sumpah gue risih dengan hukumannya.”
“Berabe! Point gue udah banyak, masak masih mau ditambah lagi.”
“Diem, kalo mau lari dari hukumannya kita kabur aja. Daripada kicep disini, kayak orang bego.” Ray mulai menimang-nimang katanya, “Rencana A, Okay?”
Dion, Rian dan Efendi menganggukkan kepala tanda mengerti.
Akhirnya, Ray lepas dari gerombolan dan melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit menuju Bu Mega. “Kok Bu Mega hafal sih nama kita? Saking terkenalnya kita mungkin.”
Dion, Efendi dan Rian menyengir tidak jelas melihat Ray dengan aktingnya yang mulai mengelabuhi Bu Mega.
“Terkenal gimana? Kalau saking nakalnya sih iya. Udah kamu nggak usah basa-basi.” Bu Mega menengok kearah belakang Ray, “Kalian, ikut saya ke ruang BK. Sekarang! tidak ada penolakkan!” Tegas Bu Mega.
Tak lama Ray bersuara, “Delapan-Enam!!!” Jeritnya.
Mereka berlari sekencang-kencangnya menuju pagar belakang sekolah. Sekalian colut. Supaya tidak terkena hukuman. Karena mereka terlalu lelah menghadapi segala hukuman, walaupun itu akibat ulah mereka sendiri. Suara melengking milik Bu Mega lolos terabaikan oleh mereka. Sekali bandel, tetap bandel.
“Yuuhhuuu, Berhasil. Berhasil. Berhasil. Horee!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar