Ada satu pertanyaan yang selama ini selalu ada di benakku terus-terusan. Pertanyaanya seperti ini. Apa di usiaku yang sebentar lagi menginjak usia 18 tahun ini? Setidaknya 1 saja… Apakah ada gadis yang pernah menyukaiku? Apa ada? Kalau dilihat baik-baik, wajahku tidak buruk-buruk amat, sifatku juga tidak buruk-buruk amat, penampilanku pun tidak buruk-buruk amat. Tetapi, pertanyaan sesimpel ini pun tidak akan terjawab meskipun aku harus naik-turun Gunung Everest 7 kali berturut-turut atau memenangkan kejuaraan piala dunia sepak bola. Sekarang ini pun aku lebih mengkhawatirkan nasib keturunanku mendatang dibandingkan dengan nasib pspku yang disita orangtuaku semalam. Kalau seperti ini terus, aku bisa membayangkan diriku di masa depan nanti akan tetap melajang dan membujang selama-lamanya. Amit-amit, deh!
Sambil imajinasi liarku ini terbang kesana-sini. Pikiranku pun serasa disengat aliran listrik ribuan volt. Sebuah memori kelam yang baru terjadi 2 hari yang lalu tiba-tiba muncul. Masih teringat jelas kata-kata dari gadis itu.
‘Bisakah kita berteman saja?’
Kalimat bodoh macam apa itu? Kenyataannya, bahkan setelah kejadian itu dia tak pernah berbicara dengan ku lagi di kelas ataupun di sekolah. Jadi, yang kamu maksud berteman itu adalah “jangan lagi bicara dengan ku”, begitu?
Kalau dihitung-hitung sudah 10, ya? Ehh.. tidak 11? Ya, 11 kali tepatnya aku ditolak oleh gadis sepanjang hidupku, 1 kali waktu SD, 3 kali waktu SMP, dan 6 kali waktu SMA ditambah penembakan yang terjadi 2 hari yang lalu, totalnya jadi 11. Dari sekian banyak penembakan yang sudah kulakukan, persentase keberhasilan yang aku raih adalah 0 %. Hey, MURI! Seharusnya kau mencatat ini di buku rekormu!
Dan begitulah kenyataan yang harus kualami selama 17 tahun aku menginjakkan kaki di planet ini. Sungguh, kenyataan ini begitu kejam. Ini semua berbanding terbalik dengan manga-manga romance yang sering kubaca, dimana sang hero dan heroine-nya selalu memiliki alur cerita yang akan menuntun mereka ke cinta sejati mereka. Dimana heroine saya, Tuan Mangaka? Sampai sekarang aku masih menunggu heroine-ku muncul di kisah romance masa mudaku. Apa heroine-ku masih belum lahir, ya?
—
Di taman yang tidak terlalu luas ini, dimana para muda-mudi banyak berdatangan untuk menghabiskan akhir pekannya. Aku duduk di bangku taman yang terbuat dari kayu dengan catnya yang banyak terkelupas. Letak posisiku sekarang berada di pojok taman, dekat lampu taman yang lensa lampunya pecah dan tiangnya mulai berkarat. Disini, yang bisa kugambarkan keadaanya adalah 80% yang berada disini adalah para anak muda yang sedang menikmati kejayaan masa mudanya dan lebih dari setengahnya memiliki pasangan masing-masing.
Perlahan-lahan eksistensiku mulai tersudut oleh tekanan ini. Aku datang di waktu dan tempat yang salah. Seharusnya di taman ini dipasang tanda “HATI-HATI DI SINI BANYAK ORANG PACARAN”. Mungkin nanti, aku akan mengirim surat protes ke Pemda setempat.
Kalau dipikir-pikir, Kenapa aku tadi bolos les matematika, ya? Sekarang yang kurasakan hanya penyesalan. Telingaku mulai panas. Mata ku mulai pedih. Suasananya mulai tidak mengenakkan. Tontonan macam ini adalah siksaan yang berat untuk kaum seperti kami. Taman seharusnya adalah tempatku untuk bersantai dan menghilangkan stess, tetapi kenapa tempat ini berubah jadi wahana yang menyeramkan begini?
Akhirnya, aku menyerah. Aku kalah melawan realita. Aku meninggalkan taman ini dengan mengibarkan bendera putih.
—
Setelah, berhasil keluar dari siksaan duniawi tadi. Aku berencana singgah sebentar membeli martabak langgananku. Jaraknya kira-kira 3 menit jika aku berjalan kaki dari taman ke tempat tersebut. Jam menunjukkan pukul 17:25. Kulihat, langit pada sore hari terlihat lebih merah daripada biasanya, terlihat bagaikan langit yang terbakar habis oleh api yang menyala. Sungguh pemandangan yang indah.
Pemandangan seperti ini cocok sekali untuk sepasang kekasih dengan latar belakang jalan yang sepi. Mereka berjalan beriringan dengan Cahaya matahari senja menyinari tubuh mereka. Ditemani bintang-bintang yang muncul dan hembusan angin laut menerpa kulit mereka. Lalu, mereka pun saling menatap satu sama lain. Kedua mata mereka saling bertemu. Kemudian bibir mereka..
aahhhh! Kenapa aku jadi seperti konsultan orang pacaran?
Sambil berusaha membuang jauh-jauh pikiran hina yang entah darimana datangnya tadi.
Buukk!!!
Pundakku seperti dihantam oleh benda keras dari belakang. Kubalikkan badanku. Kulihat, seorang gadis.. Tidak, seorang pria.. Pukulan macam apa tadi? Sakit banget. Sambil mengelus-ngelus pundakku dan memasang raut muka jengkel kepada gadis ini. Gadis ini malah tersenyum aneh seperti bocah lima tahun.
“Hey! Sakit tau.” Aku protes.
“Wiki, komik yang aku baca kemaren. Volume 74-nya sudah keluar belum.” sahut si gadis tanpa menghiraukan protes ku.
“Iya sudah ada, nanti besok aku bawakan ke sekolah.” jawabku seadanya.
Nama gadis ini adalah Mila, Mila Aristi. Mila dan aku sekolah di SMA yang sama. Dia di kelas 12 IPS 2 dan aku di 12 ips 3. Dia tinggal di komplek yang sama sepertiku. Mila dan aku sudah berteman lama sejak kecil. Tidak seperti gadis yang lain. Gadis ini unik. eh tidak, maksudku aneh. Maksudku, gadis mana yang memelihara tokek di dalam kamarnya. Bukan hanya itu, dia bahkan mengajak Temi si tokek kesayangannya ini jalan-jalan setiap hari minggu. Dia selalu mengatakan bahwa tokeknya ini sangat imut, tapi sampai sekarang aku masih belum menemukan bagian mana pada tubuh tokeknya yang membuat imut.
Terlepas dari itu semua, jika aspek ‘tokek’ pada dirinya dihilangkan. Kupikir dia sudah seperti layaknya gadis normal pada umumnya. Mila memiliki postur tinggi tubuh yang sama dengan gadis-gadis lain. Wajahnya juga bisa dikatakan wajah seorang gadis, meskipun dengan potongan rambut pendek yang membuatnya terlihat seperti anak laki-laki. Hari ini dia terlihat memakai kaos putih polos dan jaket denim berwarna biru sebagai atasannya dengan celana legging hitam sebagai bawahannya. Tampilannya layaknya seorang preman abal-abal yang sedang memalalkku sekarang.
Satu hal yang tidak bisa dihilangkan darinya sejak dulu sampai sekarang yaitu, kebodohannya yang sudah layaknya penyakit ini. Dia bahkan hampir tidak naik kelas waktu kelas 10 lalu. Beruntung dia memiliki aku si peringkat 2 ini yang rela menyisihkan waktu untuk mengajarinya. Butuh kesabaran tingkat dewa dalam mengajarinya, mulai dari huruf per huruf, angka per angka, kata per kata dan kalimat per kalimat. Serius. Bahkan aku lebih mudah mengajari 10 anak SD dibandingkan mengajarinya.
“Wiki, kudengar kamu ditolak della hari kamis lalu? Apa kamu gak kapok sudah ditolak gadis sebanyak 12 kali?”
“Yang benar adalah 11 kali. Dan kamu, jangan membahas hal-hal yang menyakitkan seperti itu. Lebih baik tanyakan masalah perekonomian Indonesia di era globalisasi sekarang atau maraknya pembakaran hutan yang terjadi belakangan ini.”
Sebagai anak IPS yang memiliki jiwa nasionalis yang tinggi, alangkah baiknya jika kita membahas tentang permasalahan bangsa kita dibandingkan membahas permasalahan percintaan remaja yang tak ada habisnya ini.
“Kamu, enggak tau. Della itu sudah punya pacar.”
“Hah!”
Kampret kau Anwar. Dasar informan tidak becus. Kukutuk kau jadi tokek terbang.
“Sekarang ini Della bukan incaranku lagi. Mungkin Cindy dari kelas 12 IPS 2 atau Ana dari kelas 11 IPA 1 atau Widya dari kelas 10 B yang jadi incaranku sekarang. Mereka semua mempunyai wajah yang manis. Kalau kau mau tahu, aku sudah mempunyai daftar nama-nama incaranku sejak kelas 10 lalu.”
Bisa dibilang, aku sudah melakukan pengamatan dan mensurvei 20 cewek tercantik dan termanis di sekolah dengan responden yaitu aku sendiri. Kegiatan ini sendiri sudah aku lakukakn selama hampir 3 tahun aku bersekolah di SMA ini. Aku bahkan membuat tabel peringkat klasemen 20 gadis tercantik dan termanis yang selalu kuupdate tiap 1 bulannya. Tabel itu kusimpan baik-baik di laci meja belajarku. Mungkin tidak ada murid di sekolah ini yang memiliki dedikasi yang tinggi seperti aku. Kukira aku sudah pantas menerima penghargaan “Student of The Year” oleh pihak sekolah.
“Sepertinya ada yang salah dengan isi kepalamu deh, wik. Sudah hentikan saja kebiasaanmu Men-stalking para gadis.” Sambil menggeleng-gelengkan kecil kepalanya, dia menatap jijik padaku seolah berkata ‘Mati saja Kau, sampah’.
“Bukannya wajar, bila seorang pria memiliki stalking-annya masing-masing. Wanita tokek sepertimu mana bisa paham dengan pikiran jenius visioner sepertiku”
Duukk!!
Tanpa ada aba-aba. Sebuah tinju berhasil mendarat ke dalam perutku.
“..urk.”
Aku jatuh tersungkur di atas jalan pejalan kaki. Rasanya nyawaku seperti terjuntai-juntai di atas kepalaku. Kulihat dua gadis melirikku sambil saling berbisik satu sama lain di seberang jalan. Mungkin, yang mereka pikir adalah aku seorang tukang selingkuh yang ketahuan oleh pacarnya dan sekarang sedang menjalani eksekusi hukumannya. Hey, aku ini bukan penjahat tau.
Rasanya, kapan ya? Aku terakhir kali dipukul seperti ini oleh mila? Ah, aku ingat. Kejadian ini seperti terulang kembali. Waktu itu aku tidak sengaja membahas tentang dada super rata miliknya. Aku seperti keledai bodoh yang jatuh di lubang yang sama. Manusia memang makhluk yang tak pernah belajar.
Aku menaikkan kepalaku dengan lemah setelah dipukul K’O olehnya. Rasa sakitnya masih terasa sakit. Dengan pukulannya yang seperti ini seharusnya dia sudah memiliki gelar sabuk tinju pertamanya. Aku berusaha berdiri sebisanya dengan tenaga seadanya.
“Mil, kamu ini.. laki-laki atau pe..rempuan, sih?” Dengan nada suaraku yang serak dan seakan tertahan di tenggorokanku. Akhirnya, aku bisa berdiri dengan kedua kakiku yang masih bergetar ini.
Sejujurnya selama 11 tahun kita berteman ini. Aku meragukan identitas kelamin Mila. Memang cukup aneh. Dia ini waktu kecilnya lebih senang bermain bola daripada bermain Barbie. Dia bahkan menjadi pelari tercepat mengalahkan para siswa laki-laki saat SD dulu. Dia juga sering berkelahi melawan anak laki-laki saat masih kanak-kanak. Meskipun begitu, berkat dia juga aku jadi jarang lagi dijahili oleh anak laki-laki lainnya. Dua hal yang kutahu darinya. Mila sebenarnya adalah gadis yang baik dan juga..
“Kamu mau aku pukul lagi. Sekarang bagian mana yang mau aku pukul. Wajahmu.. atau selangkanganmu.” Wajahnya berubah menjadi seorang psycho gila yang siap mengulitimu hidup-hidup.
Kutarik kata-kataku kembali. Dia bukan gadis yang baik. Dia gadis gila. Rasanya aku ingin berlari dan teriak “Awas Ada Gadis Gila!!”. Beruntung disini ada aku. Sekarang keselamatan warga bergantung padaku saat ini. Aku tahu satu-satunya teknik yang bisa menghentikan amukan gadis gila ini.
“Maafkan aku, Mila. Maafkan aku yang hina ini, Mila.” Dengan suara yang memelas, aku meminta ampun darinya
Sebuah teknik yang aku dapatkan ketika aku ketahuan menyembunyikan majalah p*rno di bawah kasur oleh orangtuaku. Teknik ini terbukti ampuh ketika kuterapkan pada ibuku, tapi tidak dengan ayahku. Untuk mengesankan teknik ini. Kemudian, aku akan berlutut dan membungkuk di depan kakinya.
Ketika aku sedang mau memulai untuk berlutut. Dia berkata.
“Wik, sebenarnya aku enggak marah sama hinaanmu tadi tau”
“Hah.”
Apa maksudnya ini? Sepertinya aku perlu membeli kamus bahasa wanita edisi yang terbaru. Jadi, kenapa kamu tadi memukulku? Apakah itu tadi pukulan kasih sayang?
“Tapi, saat kamu bilang aku bukan seorang gadis tadi. Itu benar-benar menyakiti perasaanku tau. Sebagai gantinya, kamu besok harus mengajakku kencan.”
“Kencan?”
Kecepatan sel otakku merespon kalimatnya tadi setara dengan kecepatan cahaya kilat yang terproyeksi di retina mataku.
“Iya, kencan. Kita akan jalan-jalan hari minggu nanti di taman hiburan Wisney. Aku gak akan menerima segala bentuk keberatan, protes, bantahan, maupun keluhanmu.” Tegasnya. Pernyataan yang tegas dari Mila tadi tidak menyisakan ruang untukku mengelak.
Kencan. Sebuah kata yang tidak mungkin kamu bisa dengar setiap harinya. Kini, terucap oleh mulut gadis ini. Berpikir kalau Mila, dari seluruh gadis yang berada di muka bumi ini, mengajakku kencan… Aku tak tahu seperti apa ekspresiku sekarang di hadapannya.
“Tapi hari mingggu, kan mil..”
“Jangan lupa kita ketemuan di halte bus dekat taman jam 9 pagi ya. Bye..” Tanpa menghiraukan protesku tadi. Tangannya melambai-lambai kepadaku. Kemudian, dia berbalik arah dan berjalan meninggalkan aku. Langkah kakinya sekarang seakan seirama dengan ayunan dari tangannya.
Aku tidak tau ekspresi apa yang dipasang oleh wajahnya sekarang. Cahaya matahari senja sekarang membasahi tubuhnya. Tubuhnya saat ini, bagaikan sebuah emas yang memancarkan cahaya ke segala penjuru arah.
Dan aku hanya terdiam mematung di tempat ini. Sebenarnya apa sih yang sedang gadis ini pikirkan?
Aku pun menarik napasku dalam-dalam dan dengan satu kali hembusan napasku ini. Aku harap segala ekspektasiku yang sekarang tidak akan lebih buruk dari yang sudah-sudah.
Dan disinilah aku. Kutengadahkan kepalaku ke atas. Langitnya jauh lebih merah dari sebelumnya. Langitnya sekarang layaknya kobaran api yang siap membakarku hidup-hidup.
Sekarang, apa yang harus kulakukan?
“Martabak. Aku harus membeli martabak.” Ucapku
—
Langit malam ini terasa lebih sunyi, berbeda dari malam-malam sebelumnya. Bintang-bintang terasa enggan untuk menampakkan dirinya. Awan-awan juga seakan menutupi eksotisme dari bulan. Di pertengahan bulan November, malam masih belum mencapai puncak kesempurnaanya.
Kulirik sebuah jam dinding di tembok kamarku. Waktu menunjukkan pukul 10 lewat 30 menit. Tidak terasa sudah 2 jam aku belajar. Meski begitu, Pelajaran akuntansi yang biasanya mudah kupahami, sekarang terasa sulit sekali menempel di otakku. Aku duduk dengan tangan memegang kepalaku sambil menekan-nekan. Konsentrasiku seakan bercabang-cabang di dalam pikiranku. Aku merasa otakku sekarang ini sedang melaksanakan rapat sidang paripurna. Rapat belum dimulai tapi sudah banyak yang melakukan interupsi.
Aku mendongakkan kepalaku ke arah langit-langit kamar. Kemudian aku menutup mata.
Sebenarnya apa yang sedang ku cari selama ini?
Apakah yang kuinginkan dan yang kubutuhkan memiliki bentuk yang sama?
Aku seperti dibutakan oleh ilusi. Ilusi membuatku yakin untuk mendapatkan semuanya, padahal tidak. Baik itu, Kenyataan yang dibuat ilusi atau ilusi yang dibuat kenyataaan, keduanya sama-sama palsu. Yang dekat semakin menjauh dan yang jauh tidak kunjung mendekat. Begitulah cara kerja ilusi. Sekarang yang harus aku lakukan adalah terus berjalan di jalan yang sama atau mengulang kembali semuanya dari awal, lalu memilih jalan yang baru..
Apapun yang aku pilih.
Itu adalah pilihanku. Yakinlah dengan pilihanku sendiri.
Aku membuka kedua mataku. Aku merasakan sebuah dorongan datang dari dalam tubuhku. Tanganku seakan bergerak sendiri melawan kehendak. Ia membimbing ku ke arah laci meja belajar. Kutarik pelan pegangan pada laci meja belajarnya. Selembar kertas kuambil dari dalam, lalu kupegang.
“…”
Aku ragu. Apa ini sebuah alasan yang benar?
Sekali lagi aku termenung di dalam kamarku sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar